Di tengah gempuran teknologi autentikasi yang semakin canggih, password masih berdiri sebagai penjaga gerbang utama di hampir semua sistem digital. Padahal, sudah banyak alternatif yang dianggap lebih aman, lebih praktis, dan bahkan nyaris tak terlihat oleh pengguna: biometrik, OTP, passkey, autentikasi dua faktor, hingga protokol FIDO2. Tapi nyatanya, password tetap jadi standar.
Fenomena ini cukup menarik. Karena jika berbicara dari sisi teknis, password punya banyak celah. Ia bisa ditebak, dicuri, dicatat oleh malware, atau bocor dari database yang kurang aman. Bahkan praktik umum seperti menggunakan satu password untuk banyak akun masih lazim dilakukan, meski sudah banyak kampanye keamanan yang memperingatkan bahayanya.
Namun kenyataan di lapangan tidak selalu berjalan seirama dengan inovasi. Ada alasan logis dan struktural kenapa password belum bisa tergantikan sepenuhnya, meskipun sudah dianggap usang oleh banyak pihak.
Pertama, adopsi teknologi baru tidak pernah instan. Infrastruktur digital di berbagai sektor masih bergantung pada sistem login tradisional. Mulai dari portal sekolah, aplikasi pemerintahan, hingga layanan e-commerce kecil, semuanya menggunakan skema username dan password karena mudah diterapkan, ringan, dan tidak memerlukan perangkat tambahan.
Kedua, adopsi autentikasi modern sering kali membutuhkan perangkat tertentu. Misalnya, biometrik hanya bisa digunakan jika perangkat mendukung fingerprint atau face recognition. OTP memerlukan akses SMS atau aplikasi autentikasi, yang tidak selalu stabil di semua negara. Passkey dan FIDO2 butuh perangkat sinkronisasi dan pemahaman teknis yang lebih dalam. Sementara password bisa diketik dari mana saja, bahkan dari warnet.
Ketiga, ada faktor kebiasaan dan kenyamanan. Password adalah sistem yang paling familiar bagi pengguna internet dari semua generasi. Ia tidak butuh pembelajaran ulang, tidak tergantung perangkat, dan tidak menimbulkan kecemasan baru. Bagi banyak orang, mengganti sistem login justru terasa seperti menambah beban, bukan solusi.
Tentu bukan berarti sistem autentikasi modern tidak berkembang. Justru sebaliknya, saat ini sedang berlangsung masa transisi panjang yang perlahan menggeser posisi password dari sentral ke pelengkap. Banyak layanan sudah menawarkan login tanpa password dengan link magic, biometrik, atau sistem one-tap authentication. Tapi hampir semuanya tetap menyisakan opsi fallback: password.
Ini menunjukkan bahwa password masih dianggap sebagai jangkar terakhir, sesuatu yang bisa diandalkan saat sistem baru gagal. Bahkan dalam sistem zero trust sekalipun, password masih muncul sebagai satu komponen dari banyak lapisan.
Ada juga dimensi ekonomi dan industri. Banyak sistem keamanan berbasis password yang sudah terintegrasi ke dalam bisnis digital: plugin, sistem login bawaan, sistem CRM, dan sebagainya. Mengganti semuanya bukan sekadar soal teknologi, tapi soal biaya, migrasi data, dan perubahan operasional.
Namun realitas ini juga menunjukkan pentingnya pendekatan bertahap. Password tidak harus dihapus, tapi bisa dipadukan dengan sistem autentikasi tambahan untuk meningkatkan keamanan. Misalnya dengan autentikasi dua faktor, penggunaan password manager, atau mengatur rotasi kata sandi secara berkala.
Bagi pengguna individu, menjaga keamanan tidak harus menunggu sistem berubah total. Langkah-langkah kecil seperti membuat password unik untuk setiap akun, menghindari informasi pribadi dalam sandi, dan mengaktifkan autentikasi dua langkah sudah cukup signifikan untuk memperkuat lapisan keamanan.
Yang menarik, keberadaan password justru membuka diskusi lebih luas tentang bagaimana manusia dan teknologi berinteraksi. Kita terbiasa mengandalkan sesuatu yang mudah diingat, bisa dikontrol sendiri, dan tidak tergantung pihak lain. Password, dalam konteks ini, bukan hanya sistem login—tapi juga representasi dari kemandirian digital.
Di masa depan, sangat mungkin password akan benar-benar tergantikan. Tapi tidak hari ini, dan tidak serentak. Perubahan besar butuh waktu, adaptasi, dan kesiapan mental kolektif. Dan selama proses itu berlangsung, password akan tetap hidup—bukan karena tak ada pengganti, tapi karena ia masih yang paling bisa diterima oleh semua pihak.
Karena dalam dunia teknologi, standar bukan ditentukan oleh kecanggihan semata. Tapi oleh apa yang bisa berjalan di berbagai kondisi, menjangkau semua pengguna, dan tetap bekerja meskipun sistem baru belum sempurna. Dalam hal ini, password memang belum selesai.