Ada satu pemandangan menarik di era digital saat ini: banyak orang menggunakan teknologi baru setiap hari, tapi di sisi lain, merasa takut atau enggan untuk mengakui bahwa mereka sebenarnya sudah mengandalkannya. Di balik rutinitas membuka aplikasi, menyimpan data di cloud, pakai AI untuk editing foto, atau login lewat biometrik, masih ada rasa curiga atau waswas yang sulit dihilangkan.
Fenomena ini bukan soal kontradiksi semata. Tapi lebih pada bagaimana manusia merespons perubahan yang tidak selalu kasatmata. Ketika teknologi bergerak di belakang layar, otomatis, dan tanpa instruksi eksplisit, banyak pengguna merasa tidak punya kontrol. Dan dari situ, lahirlah rasa takut.
Contohnya jelas terlihat dalam percakapan sehari-hari. Banyak yang merasa khawatir terhadap kecerdasan buatan, seperti “jangan sampai AI ngambil alih pekerjaan manusia”, tapi dalam praktiknya, mereka pakai ChatGPT buat nyusun caption Instagram, atau edit foto pakai filter berbasis machine learning. Mereka takut sama cloud, tapi semua foto dan dokumen disimpan otomatis di Google Drive dan iCloud.
Ini bukan soal inkonsistensi, tapi soal ketidaktahuan akan proses yang terjadi. Ketika teknologi tampil terlalu halus, pengguna tidak sadar bahwa mereka sudah berinteraksi dengannya. Dan karena tidak ada pengetahuan yang mendalam, yang muncul justru kecemasan. Seolah teknologi itu entitas asing yang diam-diam menyusup, padahal sudah menyatu dalam keseharian.
Ketakutan terhadap hal baru dalam teknologi sering kali datang dari rasa kehilangan kendali. Ketika tidak tahu bagaimana sistem bekerja, pengguna merasa rentan. Maka muncullah berbagai mitos, overthinking soal keamanan, atau bahkan penolakan mentah-mentah tanpa alasan yang jelas. Dalam banyak kasus, rasa takut itu justru lebih besar dari kenyataan risiko yang sebenarnya.
Ada juga faktor lain: rasa bersalah karena tidak melek teknologi. Banyak orang merasa mereka harus selalu paham setiap teknologi yang digunakan. Padahal, dalam praktiknya, bahkan profesional pun tidak selalu tahu cara kerja detail semua tools digital. Rasa malu ini lalu berubah jadi defensif, memilih untuk tidak menerima teknologi baru karena takut terlihat tidak mampu menguasainya.
Di sisi lain, keakraban yang dibangun pelan-pelan justru jadi cara paling efektif meredam ketakutan. Saat seseorang mulai terbiasa pakai fingerprint login, misalnya, maka pelan-pelan biometrik tidak lagi terasa asing. Begitu juga dengan fitur smart reply di email, atau rekomendasi otomatis di e-commerce, semua perlahan diterima karena terasa memudahkan, bukan memaksa.
Yang menarik, banyak ketakutan terhadap teknologi sebenarnya bukan soal teknologinya, tapi soal dampaknya terhadap kehidupan pribadi. Misalnya takut data disalahgunakan, takut kehilangan privasi, atau takut digantikan oleh mesin. Ketakutan ini valid, tapi perlu dibedakan antara risiko riil dan persepsi yang dibentuk oleh narasi negatif.
Solusinya bukan dengan menolak semua yang baru. Tapi dengan membangun pemahaman yang lebih jujur dan manusiawi. Edukasi bukan lagi soal menjelaskan fitur, tapi menjelaskan konteks. Orang butuh tahu kenapa data mereka dipakai, bagaimana algoritma bekerja, dan apa batas kontrol yang bisa mereka atur sendiri.
Teknologi, pada akhirnya, adalah alat. Ia netral sampai manusia menggunakannya. Maka, alih-alih takut, mungkin yang dibutuhkan adalah ruang diskusi yang lebih terbuka, pengalaman eksplorasi yang aman, dan waktu adaptasi yang tidak tergesa-gesa.
Karena sebagian besar ketakutan terhadap teknologi bukan muncul dari ancaman nyata, tapi dari jarak emosional antara pengguna dan sistem. Dan jarak itu bisa dijembatani, pelan-pelan, lewat pengalaman, bukan paksaan.