Pernah nggak merasa otak jadi kurang dipakai gara-gara semuanya sudah disiapkan oleh teknologi? Dari rekomendasi lagu sampai prediksi kalimat waktu nulis email, hampir semua interaksi digital kita sekarang dibantu oleh fitur otomatis. Praktis, memang. Tapi kalau dilihat lebih dalam, ada satu pertanyaan yang mengganggu: apakah kenyamanan ini membuat manusia makin malas berpikir?
Dulu, sebelum ada fitur pencarian pintar, orang harus benar-benar tahu apa yang ingin dicari. Sekarang, tinggal ketik satu kata, mesin sudah tahu arah pikiran kita. Bahkan di media sosial, algoritma lebih cepat tahu selera daripada kita sendiri. Satu sisi menyenangkan, tapi di sisi lain, ada yang perlahan terkikis: keaktifan kognitif.
Manusia memang selalu mencari cara untuk mempermudah hidup. Dan itu bukan salah. Tapi ketika semua proses berpikir digantikan oleh sistem rekomendasi, otak tidak lagi diajak bekerja keras. Lama-lama, kita jadi konsumtif terhadap informasi, bukan lagi kritis. Informasi datang, tinggal klik. Tidak ada dorongan untuk bertanya “kenapa?” atau “benarkah ini?” karena semuanya terasa sudah diolah dan siap saji.
Yang lebih mencemaskan, kemalasan berpikir ini tidak hanya terjadi dalam konsumsi hiburan. Bahkan dalam keputusan penting, seperti belanja, pendidikan, sampai pilihan politik, orang makin sering mengandalkan “yang muncul duluan” daripada mengecek sumber atau menimbang argumen. Efek algoritma bukan cuma menyaring informasi, tapi juga membentuk kebiasaan berpikir instan.
Teknologi seperti AI dan machine learning dirancang untuk belajar dari pola kita, lalu menyederhanakan hidup. Tapi penyederhanaan ini punya konsekuensi. Saat semua jadi mudah, manusia kehilangan friksi. Padahal justru dari friksi itu muncul pertumbuhan. Berpikir kritis lahir dari ketidakpastian, dari pertanyaan yang tidak langsung terjawab, dari proses mengurai.
Bukan berarti harus anti-teknologi. Tapi perlu ada kesadaran: fitur otomatis bukan pengganti berpikir. Ia seharusnya hanya alat bantu. Kalau kita menyerahkan semua keputusan pada saran sistem, tanpa jeda untuk berpikir ulang, maka kita bukan lagi pengguna teknologi. Kita jadi penumpang pasif.
Ada cara sederhana untuk mulai melawan kemalasan berpikir ini. Misalnya, saat menerima rekomendasi, coba tanya diri sendiri: apa ada pilihan lain? Saat melihat informasi yang viral, jangan langsung sebar. Tahan sebentar. Baca utuh. Bandingkan sumber. Latih ulang otot skeptis yang mulai melemah.
Karena teknologi akan terus berkembang. Sistem akan makin pintar. Tapi jangan biarkan itu membuat kita lupa cara berpikir. Nyaman itu menyenangkan, tapi kalau terlalu sering dimanja, manusia kehilangan kepekaan. Dan dunia yang dipenuhi orang nyaman, tapi tidak kritis, adalah tempat yang mudah dikendalikan.
Mungkin ini saatnya mengingatkan diri sendiri bahwa berpikir memang melelahkan. Tapi itu juga yang membedakan manusia dari mesin: kemampuan untuk meragukan, mempertanyakan, dan mencari makna di balik kemudahan yang ditawarkan layar.