Sekilas, fitur “Rekomendasi untuk Kamu” terdengar seperti bentuk perhatian. Ia menyajikan konten yang sesuai minat, mempercepat pencarian, dan membuat pengalaman digital jadi lebih personal. Tapi di balik kenyamanan itu, ada jebakan halus yang jarang dibahas. Sistem rekomendasi bukan sekadar alat bantu, ia adalah arsitek senyap yang mengatur apa yang kita lihat, pikirkan, dan pada akhirnya, percayai.
Algoritma rekomendasi bekerja dengan mengamati pola: apa yang ditonton, diklik, dilihat sebentar, atau bahkan yang hanya di-scroll pelan. Ia tidak butuh kita bicara. Cukup diam dan terus gunakan platform-nya, dan sistem akan tahu siapa kita, bahkan lebih akurat daripada yang kita akui ke diri sendiri.
Masalahnya bukan karena sistem ini tidak efektif, tapi karena terlalu efektif. Ia menciptakan ruang digital yang semakin sempit. Kita tidak lagi melihat dunia, tapi melihat versi dunia yang dipilihkan untuk kita. Konten yang muncul bukan yang paling penting, tapi yang paling mungkin membuat kita bertahan lebih lama. Lama-lama, batas antara preferensi dan manipulasi jadi kabur.
Efek jangka panjangnya adalah terbentuknya gelembung kognitif. Kita hanya berinteraksi dengan ide, orang, dan informasi yang mirip dengan yang sudah kita suka. Tidak ada kejutan, tidak ada ketidaksesuaian. Padahal justru dari pertemuan dengan yang berbeda, pikiran berkembang. Ketika semua terasa cocok, otak tidak lagi diajak berpikir, hanya mengangguk.
Sistem rekomendasi juga tidak netral. Ia punya tujuan: retensi. Semakin lama kita terpaku di layar, semakin besar nilai datanya. Maka jangan heran jika konten yang direkomendasikan kadang terlalu emosional, provokatif, atau ekstrem. Bukan karena itu yang kita butuhkan, tapi karena itu yang membuat kita tetap tinggal.
Ini berbahaya terutama dalam konteks sosial dan politik. Ketika algoritma merekomendasikan berita yang menguatkan opini tertentu, tanpa menunjukkan sisi sebaliknya, maka polarisasi makin tajam. Orang jadi yakin bahwa pandangannya didukung mayoritas, padahal hanya sedang terjebak dalam ekosistem digital yang mengulang hal yang sama.
Kenyamanan yang dibangun sistem ini juga menciptakan ilusi pilihan. Kita merasa bebas memilih, padahal sebenarnya hanya memilih dari apa yang disodorkan. Seperti berada di toko yang hanya menampilkan satu rak, tapi diberi tahu bahwa ini adalah semua yang ada.
Lalu, apa yang bisa dilakukan? Kesadaran adalah langkah pertama. Mulailah mempertanyakan kenapa satu konten muncul di beranda. Coba cari hal yang bertolak belakang dengan yang biasa dikonsumsi. Ikuti akun atau kanal yang berbeda pandangan. Buat algoritma bekerja lebih luas.
Bisa juga dengan sesekali keluar dari sistem rekomendasi. Misalnya, langsung cari topik tanpa klik dari beranda. Gunakan mode incognito, atau bahkan lebih ekstrem: ambil buku, pergi dari layar. Biar informasi tidak selalu datang dari sistem yang menyaring terlalu banyak.
Karena jika kita terus hidup dalam kenyamanan rekomendasi, maka lama-lama kita hanya akan tahu apa yang ingin kita dengar. Dan itu bukan lagi bentuk kebebasan, tapi pengurungan yang dikemas rapi dalam desain menarik.
Jadi, mungkin sudah waktunya bertanya: seberapa besar bagian dari pikiran ini yang benar-benar milik kita, dan seberapa banyak yang hanya hasil rekomendasi?