Ketika Digital Jadi Gaya Hidup: Catatan Kecil Anak 90an yang Hidup di Era Teknologi Serba Cepat

Ketika Digital Jadi Gaya Hidup: Catatan Kecil Anak 90an yang Hidup di Era Teknologi Serba Cepat

Tumbuh sebagai anak kelahiran 90an punya pengalaman yang unik. Kita ini generasi peralihan, yang sempat main di sawah dan juga update Instagram. Ngerasain masa-masa nunggu lagu di radio buat direkam ke kaset, sampai sekarang bisa streaming album lengkap di Spotify sambil rebahan. Dunia berubah cepet banget, dan kita yang dulu dibilang “digital immigrant” malah sekarang udah jadi warga tetap dunia maya.

Dari Dunia Analog ke Digital

Waktu kecil, hidup serba analog. Nonton TV pake antena yang harus diatur arahnya, main game di PS1 yang loading-nya bisa bikin semedi, dan bikin tugas sekolah di rental komputer yang koneksi internetnya masih dial-up. Kalau inget-inget, rasanya lucu tapi juga bikin kangen. Dunia serba manual itu ngajarin kita sabar, kreatif, dan hemat.

Tapi semua berubah saat teknologi mulai merajalela. Handphone masuk ke genggaman, awalnya cuma buat SMS dan main Snake, terus berkembang jadi smartphone yang bisa ngapa-ngapain. Kehidupan mulai digital dari ujung rambut sampai ujung kaki. Belanja, kerja, belajar, bahkan hubungan percintaan pun ikut pindah ke dunia maya.

Gadget Pertama dan Gaya Hidup yang Berubah

Gue masih inget banget handphone pertama: Nokia 3310. Tahan banting, baterai awet, dan ringtone poliponik itu mewah banget saat itu. Sekarang? Semua orang bawa “komputer mini” di saku, yang bisa bikin video 4K, edit foto, bahkan ngatur rumah dari jarak jauh. Gaya hidup kita juga ikut berubah.

Kita jadi lebih cepat bosan, pengen semuanya instan. Makanan tinggal pesan lewat aplikasi, ngobrol tinggal video call, dan segala hal bisa diselesaikan tanpa harus keluar rumah. Praktis sih, tapi juga bikin hidup jadi minim interaksi nyata. Ini sisi lain dari digitalisasi yang jarang dibahas.

Internet dari Telkomnet Instan ke Fiber Super Ngebut

Dulu, koneksi internet itu mewah. Masuk ke dunia maya harus siapin waktu malam hari, biar nggak ganggu telepon rumah. Siapa yang nggak inget suara modem dial-up yang khas itu? Sekarang, internet udah jadi kebutuhan primer. Fiber optik masuk rumah, WiFi nyebar ke semua sudut, dan kecepatan jadi patokan gaya hidup digital.

Dengan internet, hidup kita kayak nggak pernah berhenti. Sosial media jalan 24 jam, kerja bisa dari mana aja, dan hiburan nggak ada habisnya. Tapi kadang, justru karena semua serba ada, kita malah jadi gampang kehilangan fokus.

Pola Pikir: Dari Sabar ke Serba Cepat

Dulu kita sabar nunggu kartun tiap minggu, sekarang kesel kalau buffering lima detik. Dulu kita nungguin balasan surat seminggu, sekarang kalau chat centang biru nggak dibales dalam lima menit bisa baper. Teknologi ngerubah cara berpikir kita, dari penuh ekspektasi jadi serba ekspektatif.

Digitalisasi ngajarin kita untuk multitasking, tapi juga bikin kita jarang fokus. Kita jadi mikir semua harus selesai sekarang juga. Padahal, ada hal-hal dalam hidup yang butuh waktu buat berkembang.

Media Sosial dan Identitas Digital

Instagram, Twitter, TikTok, semuanya jadi cermin digital kita. Kita bisa nunjukin sisi terbaik, tapi juga bisa kehilangan jati diri karena terlalu mikirin validasi dari orang lain. Generasi 90an dulu kenal Friendster dan MIRC, sekarang beradaptasi dengan algoritma dan engagement rate.

Kita mulai nge-brand diri, bukan cuma untuk bisnis tapi juga eksistensi. Apa yang kita posting, filter apa yang kita pilih, semua ikut ngebentuk citra kita. Kadang itu bikin kita ngerasa harus terus jadi versi “ideal”, bukan versi asli.

Dunia Kerja: Dari Seragam ke Remote

Dunia kerja juga udah beda banget. Anak 90an dulu diajarin buat kerja kantoran, masuk jam 8 pulang jam 5. Sekarang? Banyak yang kerja dari rumah, freelance, atau bahkan bikin konten jadi penghasilan utama. AI dan otomasi udah mulai gantiin banyak hal yang dulu dikerjain manual.

Tapi bukan berarti semua jadi lebih gampang. Adaptasi ke dunia digital itu juga butuh skill baru. Bukan cuma ngerti aplikasi, tapi juga ngerti cara berpikir digital: efisien, fleksibel, dan terus belajar.

Ngatur Diri di Tengah Digital Overload

Gak bisa dipungkiri, hidup digital itu melelahkan. Notifikasi gak pernah berhenti, informasi datang terus-terusan, dan ekspektasi sosial makin tinggi. Kita harus belajar ngatur waktu, bikin batas, dan sesekali disconnect biar bisa connect ke diri sendiri.

Mindfulness jadi penting. Jalan kaki tanpa gadget, baca buku fisik, atau sekadar ngobrol tanpa distraksi bisa jadi cara buat ngembaliin keseimbangan. Hidup digital harus tetap punya sentuhan manusiawi.

Digital Itu Berkah, Tapi Juga Ujian

Teknologi bukan musuh. Dia bantu hidup jadi lebih mudah, lebih cepat, dan lebih luas jangkauannya. Tapi kalau nggak hati-hati, kita bisa jadi budak dari alat yang kita ciptain sendiri. Hidup digital butuh kesadaran.

Sebagai anak 90an, kita punya keuntungan: pernah hidup di dua dunia. Kita ngerti nikmatnya hidup sederhana dan juga praktisnya hidup modern. Tugas kita sekarang, gimana caranya tetap manusia di tengah kehidupan yang makin digital.

Karena pada akhirnya, yang paling penting bukan seberapa canggih teknologi yang kita punya, tapi seberapa bijak kita menggunakannya.