Tidak semua proses membangun proyek digital adalah cerita tentang semangat, ide cemerlang, dan pertumbuhan yang cepat. Ada sisi lain yang lebih sunyi, yang nggak banyak dibicarakan: kelelahan mental, siklus kerja tanpa akhir, dan rasa hampa meskipun secara kasat mata semuanya terlihat berhasil. Mungkin ini bukan kisah heroik yang menjual, tapi justru dari situlah titik balik dimulai.
Beberapa tahun terakhir, ritme kerja dalam dunia digital cenderung merayakan kecepatan. Launch cepat, iterate terus, harus relevan, harus update. Apalagi kalau mengelola semuanya nyaris sendirian—dari sisi teknis, konten, marketing, sampai urusan customer support. Ada masa-masa di mana bangun tidur langsung buka dashboard analytics, lalu baru sadar belum sarapan jam 3 sore. Semua dilakukan atas nama “progres”.
Tapi progres yang tanpa jeda, ternyata bukan pertumbuhan—itu paksaan.
Ada masa ketika rasa jenuh mulai datang, tapi diabaikan. Berpikir itu hanya fase sebentar. Tapi ternyata berkepanjangan. Tidur makin nggak nyenyak, ide terasa tumpul, dan hari-hari terasa seperti mengulang skrip yang sama. Saat itu belum tahu, bahwa itulah burnout.
Burnout dalam dunia digital punya wajah yang samar. Karena pekerjaan digital bisa dilakukan di mana saja, maka istirahat pun seringkali terasa seperti kemewahan yang harus dicuri. Bawa laptop ke kafe bukan liburan, itu cuma kerja dengan latar berbeda. Libur akhir pekan tetap kebagian notifikasi server atau pesan dari pengguna. Lama-lama, bahkan rasa bangga terhadap kerja keras sendiri ikut luntur. Semua terasa beban.
Ada satu titik yang nggak bisa dilupakan: saat sedang mengetik baris terakhir kode untuk fitur baru, tiba-tiba pikiran kosong. Bukan karena capek secara fisik, tapi karena kehilangan makna dari apa yang sedang dibangun. Apalagi ketika realita berkata bahwa fitur itu mungkin nggak akan dipakai sebanyak yang diharapkan. Di situ, muncul pertanyaan: sebenarnya sedang mengejar apa?
Burnout bukan soal manajemen waktu. Kadang ini soal ekspektasi terhadap diri sendiri yang terlalu tinggi. Ingin semua jalan, ingin semua sempurna, dan ingin semua cepat. Tapi tubuh dan pikiran nggak bisa terus dipaksa.
Mengakui burnout bukan kelemahan, justru itu langkah awal untuk pulih.
Salah satu hal yang menyelamatkan adalah momen diam. Diam total. Tanpa laptop, tanpa medsos, tanpa progres apapun. Bukan karena menyerah, tapi karena tubuh butuh jeda. Dari situ mulai muncul kesadaran: bahwa produktif bukan soal kecepatan, tapi keberlanjutan.
Belajar dari momen itu, ritme kerja perlahan diubah. Bukan berarti jadi santai tanpa arah, tapi lebih seimbang. Misalnya, menyusun minggu kerja dengan blok waktu istirahat yang jelas. Menolak beberapa tawaran proyek, bukan karena nggak sanggup, tapi karena sadar kapasitas diri. Menerima bahwa istirahat adalah bagian dari kerja.
Di sisi lain, mulai berani menyederhanakan. Kalau dulu satu produk digital dibuat dengan fitur kompleks dan roadmap panjang, kini lebih memilih bikin produk yang lebih ringan tapi konsisten. Bukan berarti menurunkan standar, tapi justru meningkatkan fokus.
Salah satu keputusan penting adalah membatasi distraksi digital. Menghapus aplikasi yang nggak perlu, menonaktifkan notifikasi yang memecah konsentrasi, dan membuat jam kerja yang lebih terstruktur. Termasuk memberikan waktu khusus untuk ngobrol atau jalan santai, tanpa rasa bersalah.
Keseimbangan itu nggak datang tiba-tiba. Butuh trial and error. Kadang mundur lagi ke pola lama, kadang terlalu idealis dan malah nggak jalan. Tapi setidaknya sekarang sadar bahwa perjalanan ini adalah proses. Bukan sprint, tapi maraton.
Dunia digital akan selalu berubah cepat. Tools baru, tren baru, algoritma baru. Tapi fondasi diri harus tetap stabil. Karena yang bisa bikin proyek digital bertahan bukan cuma ide dan eksekusi, tapi juga kemampuan untuk tetap waras dan punya energi jangka panjang.
Kalau ditanya sekarang apa arti sukses dalam proyek digital, jawabannya bukan lagi traffic tinggi atau revenue instan. Tapi bisa tetap berjalan, tetap belajar, dan tetap punya waktu untuk diri sendiri.
Satu hal yang pasti: burnout bukan akhir. Justru seringkali itu alarm bahwa ada yang harus diubah. Dan dari perubahan kecil itu, bisa lahir perjalanan baru yang lebih sehat dan berkelanjutan.