Ilustrasi visual konten digital yang dihasilkan AI dengan elemen wajah manusia, robot, dan blok informasi yang tertata terlalu sempurna

Bahaya Konten AI yang Terlalu Sempurna: Ketika Netralitas Menumpulkan Empati

Beberapa bulan terakhir, algoritma pencarian dan media sosial terasa seperti medan tak terlihat yang dipenuhi jebakan tersembunyi. Bukan karena mereka berisi sesuatu yang secara eksplisit berbahaya, tapi karena ada sesuatu yang lebih licin dan sulit dikenali: konten AI yang begitu halus, begitu menyerupai manusia, sampai sulit dibedakan mana yang lahir dari pikiran manusia, mana yang hasil rekayasa statistik.

Ada malam-malam di mana saat sedang membaca utas panjang di X (dulu Twitter), entah kenapa merasa hampa. Seolah setiap opini yang dilempar, meskipun tampak tajam dan bernalar, terasa terlalu… sempurna. Terlalu seimbang. Terlalu bersih dari bias manusia. Lama-lama sadar, itu bukan tulisan manusia. Itu hasil dari model bahasa besar yang dilatih meniru kita semua.

Masalahnya bukan semata-mata pada keakuratan atau kecanggihannya, tapi pada efeknya yang mengikis rasa. Ketika setiap argumen terdengar netral, setiap pernyataan seolah punya bukti statistik, dan setiap komentar terdengar ‘aman’, ada sisi manusia yang pelan-pelan mati: keberanian untuk salah, spontanitas, dan keberpihakan emosional yang justru membuat manusia terasa nyata.

Kita sering bicara tentang disinformasi, tapi jarang membicarakan halusnya manipulasi dalam bentuk kesan netralitas. Konten AI bisa saja tidak bohong, tapi ia juga tidak jujur. Ia merangkum, menyederhanakan, dan menyampaikan ulang narasi tanpa beban sejarah, luka, atau pengalaman hidup. Maka yang tertinggal bukan kebenaran, tapi replikasi kosong dari apa yang ingin kita dengar.

Ketika terlalu banyak konten diisi oleh sistem otomatis, risiko terbesarnya bukan hanya kebosanan, tapi juga ketumpulan empati. Karena empati tidak lahir dari informasi saja, tapi dari nuansa. Dari jeda dalam tulisan, dari pilihan diksi yang tidak efisien, dari kegugupan yang terasa dalam kalimat yang tidak rapi.

Pernah membaca puisi yang ditulis AI? Secara teknis, tidak ada yang salah. Tapi juga tidak ada yang benar-benar hidup. Tidak ada luka yang menetes, tidak ada cinta yang menggigil, tidak ada keraguan yang membuat dada sesak. Karena algoritma tidak takut ditolak. Tidak punya sejarah patah hati. Tidak tumbuh dengan bahasa ibu.

Di era banjir informasi ini, kita mengira tantangan terbesar adalah hoaks dan kebohongan. Padahal bisa jadi tantangan sebenarnya justru konten yang terlalu mulus, terlalu terstruktur, dan terlalu pintar untuk disalahkan. Ia mengalir seperti sungai jernih yang membawa kita menjauh dari pantai keheningan, ke tengah laut yang semua nadanya terdengar sama.

Ironisnya, ketika semua bisa dibuat ‘menarik’ oleh mesin, justru yang membosankan menjadi penanda orisinalitas. Tulisan yang ruwet, cerita yang melantur, dan status yang typo kini terasa lebih jujur. Karena manusia tidak lahir untuk selalu terstruktur. Kita hidup dari kebisingan batin, dari pertanyaan yang tidak selesai, dari kalimat yang dihapus lalu ditulis ulang tiga kali.

Mungkin inilah saatnya menyadari bahwa melawan konten AI bukan soal menolak teknologinya. Tapi soal mempertahankan ruang bagi yang tidak sempurna. Yang tidak efisien. Yang kadang tidak relevan. Karena justru dari situ, muncul keaslian.

Dan mungkin, satu-satunya cara untuk tetap waras di era ini bukan dengan meniru algoritma, tapi dengan kembali menjadi manusia: yang berantakan, tapi bermakna. Yang tidak selalu konsisten, tapi tulus. Yang menulis bukan untuk menang, tapi untuk merasa. Karena pada akhirnya, di antara riuhnya konten yang dibuat demi engagement, hanya yang ditulis dari hati yang bisa menyentuh hati.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

    Leave a Reply

    Your email address will not be published. Required fields are marked *