Setiap kali bangun tidur dan membuka laptop, ada momen reflektif yang anehnya justru muncul dari hal-hal sederhana: loading sistem operasi, deru kipas pendingin, dan suara notifikasi pertama yang muncul dari sudut kanan bawah layar. Di kamar kost, rutinitas ini jadi bagian dari hidup. Tidak pernah benar-benar terasa megah, tapi juga tidak bisa diabaikan. Ada irama berulang yang pelan-pelan membentuk pola: duduk, mengetik, membuka tab yang sama, lalu tenggelam dalam kerja yang rasanya tidak ada ujungnya.
Laptop bukan lagi sekadar alat bantu, ia sudah menjadi perpanjangan dari ruang berpikir dan bertindak. Dalam kehidupan anak kos yang minim ruang fisik, perangkat ini seperti dinding kedua setelah tembok kamar itu sendiri. Segala aktivitas profesional, komunikasi, hingga hiburan, semua berpusat dari satu titik: layar 14 inci yang menemani dari pagi sampai dini hari. Bahkan, banyak keputusan besar dan momen emosional yang lahir dari hadapan layar itu.
Tapi seiring waktu, mulai terasa sesuatu yang lain. Bukan lagi soal kecepatan prosesor atau kapasitas SSD. Ada beban yang nggak kelihatan tapi selalu ada. Laptop di meja itu seperti punya energi sendiri. Begitu layar menyala, rasanya seperti masuk ke dunia lain, dan keluar dari ruang batin yang sesungguhnya. Dari sinilah muncul kelelahan yang tidak selalu bisa dijelaskan.
Di luar, orang menyebut ini sebagai burnout digital. Tapi di kamar kost, ini lebih seperti ruang transisi yang nggak pernah tuntas. Mau disebut tempat tinggal pun kadang terasa seperti kantor. Mau disebut kantor, suasananya terlalu personal. Akhirnya, laptop itu jadi batas kabur antara kerja, hidup, dan waktu diam yang makin jarang hadir.
Belum lagi distraksi. Sekuat apa pun niat untuk produktif, satu notifikasi bisa menarik atensi ke tempat lain. Dan lucunya, semua itu juga datang dari laptop yang sama. Aplikasi yang membantu bekerja adalah aplikasi yang sama yang mengganggu ritme. Platform yang dipakai buat belajar justru yang membuat orang terjebak scroll nggak jelas berjam-jam. Layar itu netral, tapi cara menggunakannya menentukan banyak hal.
Pernah ada masa di mana membuka laptop selalu identik dengan semangat. Ingin eksplor hal baru, belajar tools baru, atau menyusun portofolio digital dengan bangga. Tapi kini, ada jeda. Kadang, tangan hanya berhenti di touchpad tanpa klik apa pun. Bukan karena bingung, tapi karena sadar: bahkan ketika tidak ada yang harus dikerjakan, laptop itu tetap menuntut.
Di sisi lain, perangkat ini juga menyimpan jejak paling jujur tentang perjalanan seorang digital native. Dari draft yang nggak pernah dipublikasikan, folder yang dikunci password karena terlalu personal, sampai software yang dibeli karena ingin membuktikan diri. Semua itu adalah bentuk rekam digital yang tidak pernah tampil di feed sosial media.
Menariknya, banyak anak kost atau pekerja remote yang nggak sadar betapa laptop mereka sebenarnya mencerminkan cara hidup. Seberapa sering memperbarui sistem, mengganti wallpaper, membersihkan folder, atau bahkan backup data bisa jadi cermin bagaimana mereka mengelola hidup sehari-hari. Kalau laptop berantakan, biasanya ritme hidup pun sedang tidak seimbang.
Ada satu malam di mana semua tab ditutup, notifikasi dimatikan, dan hanya satu jendela teks terbuka. Saat itu, layar laptop terasa seperti kertas kosong yang akhirnya memberi ruang bernapas. Bukan untuk presentasi atau laporan, tapi untuk menulis tanpa tujuan. Ternyata, itu adalah bentuk istirahat yang selama ini dicari. Bukan tidur atau libur, tapi momen sunyi bersama pikiran sendiri tanpa suara dari luar.
Tidak semua orang bisa menemukan ruang itu. Beberapa terlalu terburu-buru, beberapa lainnya sudah terlalu lelah. Tapi kalau bisa sesekali mematikan koneksi, menutup semua tab, dan hanya menyalakan satu program tanpa distraksi, laptop bisa jadi tempat pulang. Tempat yang tidak meminta, tidak menilai, hanya menerima apa pun yang sedang dirasa.
Dunia digital memaksa banyak hal jadi cepat, instan, dan penuh reaksi. Tapi di kamar kost, hidup tetap berjalan dengan jeda. Di antara suara kipas laptop yang mulai berdebu dan layar yang memantulkan cahaya neon, ada ruang kecil untuk mengenali diri. Dan selama masih bisa menulis, berpikir, dan merasa lewat alat ini, berarti ruang itu belum sepenuhnya hilang.