Privasi digital sering kali terdengar seperti isu besar yang jauh dari kehidupan sehari-hari. Padahal, tanpa disadari, setiap klik, setiap aplikasi yang diinstal, hingga pengaturan yang diabaikan bisa membuka celah pada kehidupan pribadi. Tidak selalu tentang pencurian data atau peretasan besar-besaran. Justru yang paling bahaya seringkali yang paling diam-diam: pelacakan perilaku, pengumpulan metadata, dan profiling berdasarkan aktivitas online yang kelihatan sepele.
Misalnya saat mencari tempat makan siang, membuka Google Maps, dan tiba-tiba rekomendasi restoran mulai bermunculan di media sosial. Atau ketika habis ngobrol soal liburan ke Bali, lalu iklan tiket pesawat muncul di Instagram. Apakah ini sihir algoritma? Atau memang ada sesuatu yang lebih dalam bekerja di balik layar?
Banyak orang masih menganggap hal itu sebagai hal biasa. Sebagian malah menganggapnya “membantu” karena merasa dimudahkan. Tapi di balik kemudahan itu, ada harga yang dibayar: kebebasan untuk berselancar di internet tanpa dilacak.
Cookie, misalnya. Di awal, cookie hanyalah mekanisme agar website bisa mengingat preferensi pengguna. Tapi kini cookie pihak ketiga (third-party cookies) jadi mata-mata yang bisa mengawasi aktivitas pengguna di berbagai situs berbeda. Lalu ada perangkat pelacak lainnya: fingerprinting, beacon, hingga pixel tracker. Semua itu bekerja tanpa harus ada izin eksplisit, dan tanpa disadari, profil digital terbentuk secara otomatis.
Yang lebih mencemaskan adalah betapa mudahnya informasi ini disalahgunakan. Tak hanya untuk iklan, tapi bisa jadi bahan penipuan, manipulasi opini publik, bahkan rekayasa sosial. Semakin banyak data yang terkumpul, semakin akurat pula seseorang bisa dipetakan: jam aktif, kebiasaan tidur, minat, relasi, hingga kecenderungan politik.
Bukan berarti harus paranoid. Tapi penting untuk sadar. Karena kesadaran adalah langkah pertama untuk bisa mengontrol apa yang ingin dibagikan, dan kepada siapa. Sayangnya, tidak semua platform digital memberikan opsi yang transparan. Banyak pengaturan privasi yang disembunyikan atau sengaja dibuat rumit. Bahkan beberapa aplikasi meminta izin akses yang berlebihan: mengakses mikrofon, kamera, hingga daftar kontak, padahal fungsinya tidak relevan sama sekali.
Sebagian orang mulai beralih ke aplikasi yang lebih peduli privasi: browser seperti Brave, mesin pencari seperti DuckDuckGo, hingga sistem operasi seperti GrapheneOS untuk pengguna Android tingkat lanjut. Tapi solusi ini tidak populer karena butuh usaha lebih dan kadang membatasi kenyamanan.
Yang sering luput dibahas adalah bagaimana jejak digital bukan hanya ditinggalkan oleh satu orang. Chat grup, unggahan teman yang menandai seseorang, hingga metadata dari foto bisa jadi titik masuk untuk menggali informasi lebih jauh. Jadi, kadang bukan hanya tentang mengamankan diri sendiri, tapi juga kesadaran kolektif.
Lalu bagaimana seharusnya menyikapi semua ini?
Pertama, mulailah dengan memeriksa pengaturan privasi di setiap aplikasi yang digunakan. Matikan izin yang tidak relevan. Hapus aplikasi yang tidak dipakai. Gunakan mode incognito jika perlu, tapi sadar bahwa itu tidak sepenuhnya anonim.
Kedua, pikir dua kali sebelum membagikan sesuatu secara publik. Foto lokasi, aktivitas harian, hingga komentar di forum bisa jadi bagian dari jejak digital yang sulit dihapus.
Ketiga, pertimbangkan untuk menggunakan layanan yang lebih menghargai privasi. Tidak harus ekstrem, cukup dengan perlahan-lahan mengganti alat-alat digital yang digunakan sehari-hari.
Ada satu aspek yang sering terlupakan: pendidikan digital. Banyak yang menggunakan internet setiap hari tanpa pemahaman dasar tentang cara kerja sistemnya. Bagaimana data mengalir, siapa yang menyimpannya, dan apa risikonya. Jika pendidikan literasi digital dimasukkan sejak dini, mungkin generasi berikutnya tidak akan terlalu abai.
Karena pada akhirnya, internet bukan ruang netral. Ada kepentingan bisnis, politik, dan sosial di dalamnya. Dan selama masih ada celah privasi yang bisa dieksploitasi, maka yang tidak sadar akan jadi target yang paling empuk.
Mengambil kembali kendali atas privasi digital memang tidak mudah. Tapi setiap langkah kecil berarti. Bahkan sekadar menghapus satu aplikasi, atau membaca kebijakan privasi sebelum meng-klik “setuju”, bisa menjadi bentuk perlawanan terhadap sistem yang makin hari makin invasif.
Di era ketika data adalah mata uang baru, menjaga privasi bukan lagi soal sembunyi, tapi soal memilih dengan sadar apa yang ingin dibuka dan apa yang harus tetap jadi milik sendiri.