ilustrasi seseorang menggulir laptop dengan ikon gembok digital dan suasana meja malam hari

Scroll Malam dan AI: Antara Ketenangan Palsu dan Kontrol Tak Sadar

Ada satu kebiasaan malam hari yang kadang sulit dihindari, bahkan ketika tubuh sudah lelah dan mata seharusnya terpejam: menggulir layar ponsel tanpa arah. Awalnya hanya ingin mengecek notifikasi, tapi berakhir pada scroll yang nggak jelas ujungnya. Feed demi feed lewat, video demi video muncul, dan tiba-tiba waktu melompat begitu cepat—sudah lewat tengah malam, bahkan hampir subuh.

Yang menarik, fenomena ini bukan lagi sekadar kebiasaan individu. Di tengah derasnya perkembangan teknologi dan algoritma, scrolling malam punya pola sosial yang makin terasa. Ada semacam dorongan kolektif untuk tetap terjaga, terhubung, dan terus mencari. Mencari hiburan, informasi, validasi, atau mungkin… pelarian dari kenyataan yang membebani.

AI memperparah itu. Bukan dalam konteks menyalahkan, tapi karena perannya memang krusial. Algoritma AI yang semakin pintar merancang konten membuat kita sulit berhenti. Konten yang muncul bukan lagi acak, tapi disesuaikan dengan pola perilaku, ketertarikan, bahkan kondisi emosional pengguna. Saat sedang sedih, muncul video motivasi. Saat jenuh, disuguhkan komedi. Saat merasa sendiri, datang cerita relatable yang bikin hati terasa hangat. Semua itu membuat otak sulit melepaskan.

Dulu, waktu malam dipakai untuk refleksi atau istirahat. Sekarang, malam menjadi panggung bagi kecanduan konten yang halus. Halus karena nggak terasa merusak, tapi pelan-pelan mengikis.

Menariknya, generasi digital tidak menyadari ini sebagai masalah. Bahkan seringkali merasa lebih terkoneksi, lebih tahu dunia, dan lebih update. Padahal, saat ditarik garis waktu, yang diperoleh hanyalah tumpukan notifikasi yang berlalu dan memori singkat dari video 60 detik yang tak lagi diingat esok harinya.

AI juga memengaruhi cara otak bekerja. Dengan konsumsi informasi yang serba instan dan cepat, kapasitas fokus dan kedalaman berpikir perlahan menurun. Hal ini terjadi bukan karena manusia makin malas berpikir, tapi karena sistemnya memang dirancang begitu. Short attention span jadi norma baru. Bahkan beberapa orang merasa sulit membaca artikel panjang, padahal dulunya gemar membaca buku.

Fenomena ini bukan hanya memengaruhi individu, tapi juga dinamika sosial. Percakapan jadi lebih cepat, tanggapan lebih instan, dan ekspresi emosi dibungkus dalam emoji atau stiker. Interaksi jadi efisien, tapi kehilangan kedalaman. Bahkan saat bertemu langsung, banyak yang tetap sibuk dengan layar masing-masing.

Namun di sisi lain, AI juga menawarkan peluang. Kemampuannya untuk membantu pekerjaan, menyederhanakan proses, dan meningkatkan efisiensi tetap tak terbantahkan. Bahkan banyak yang merasakan produktivitas meningkat karena AI—termasuk dalam menulis, membuat konten, atau menyusun ide.

Yang jadi tantangan adalah: bagaimana menempatkan AI secara bijak dalam hidup sehari-hari. Supaya bukan kita yang dikendalikan, tapi justru kita yang mengarahkan. Ini bukan wacana moralistik, tapi soal kendali. Tentang bagaimana tetap punya ruang untuk diam, berpikir, dan merasakan—di luar kurasi algoritma.

Mungkin perlu ada ritual baru. Seperti mematikan notifikasi di atas jam 10 malam, menyimpan ponsel di luar kamar, atau membiasakan membaca buku fisik lagi. Bukan karena teknologi buruk, tapi karena tubuh dan pikiran butuh jeda. Butuh ruang kosong agar bisa diisi dengan kesadaran, bukan distraksi.

Scroll malam bisa terasa menyenangkan, bahkan terapeutik. Tapi ketika jadi satu-satunya cara menenangkan diri, mungkin ada yang perlu ditinjau ulang. Karena kedamaian bukan cuma soal distraksi dari yang menyakitkan, tapi kemampuan menerima dan memahami rasa itu sendiri.

Di tengah dunia yang makin cepat, scroll malam jadi lambang paradoks: ingin tenang tapi justru makin terjebak. Ingin dekat tapi malah makin jauh. Mencari makna tapi tenggelam dalam permukaan. Dan AI, dalam senyap, hadir sebagai arsitek dari banyak keputusan tak sadar yang kita buat setiap hari.

Pertanyaannya bukan lagi apakah AI baik atau buruk. Tapi, sejauh mana kita sadar bahwa hidup yang dijalani masih milik sendiri, bukan milik algoritma.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

    Leave a Reply

    Your email address will not be published. Required fields are marked *