Beberapa malam yang lalu, waktu sudah lewat tengah malam. Tangan masih sibuk scroll di layar ponsel, berpindah dari satu video ke video lain di TikTok. Semula niatnya cuma mau cari hiburan sebentar sebelum tidur, tapi tanpa sadar sudah lebih dari satu jam tenggelam di dalamnya. Padahal, semua yang muncul di timeline seolah-olah pas banget dengan selera, seolah tahu persis apa yang bikin penasaran, apa yang bisa bikin ngakak, bahkan topik-topik yang baru mulai terpikir belakangan ini.
Itu bukan kebetulan. Itu adalah hasil kerja algoritma.
Di era sekarang, algoritma jadi dalang di balik banyak keputusan yang tampak seolah-olah berasal dari preferensi pribadi. Mulai dari rekomendasi tontonan di YouTube, reels di Instagram, iklan di e-commerce, sampai berita di platform digital. Semuanya disusun berdasarkan pola perilaku, durasi interaksi, bahkan waktu jeda di setiap swipe atau scroll. Algoritma bukan cuma sekadar teknologi, ia perlahan-lahan menjadi pemahat persepsi.
Algoritma dirancang bukan untuk membuat pengguna puas, melainkan betah. Makin lama seseorang berada di dalam aplikasi, makin banyak data bisa dikumpulkan, makin banyak iklan bisa ditampilkan. Dari sinilah muncul istilah “dopamine loop”, kondisi di mana seseorang terus mencari kepuasan instan dari notifikasi, likes, dan konten-konten pendek yang cepat memberikan hiburan atau informasi. Sekilas tampak tidak berbahaya. Tapi dalam jangka panjang, efeknya bisa mirip seperti kecanduan.
Kecanduan ini punya wajah yang lembut, nyaris tak terasa. Tidak ada batas waktu yang jelas, tidak ada sinyal peringatan. Tahu-tahu, waktu habis, fokus buyar, dan realita terasa kabur. Bahkan ketika mencoba keluar dari aplikasi, seringkali muncul godaan untuk kembali, hanya karena muncul push notification berisi sesuatu yang sepertinya menarik. Semua didesain untuk membuat kembali dan bertahan lebih lama.
Yang lebih mengkhawatirkan adalah efek jangka panjang terhadap cara berpikir. Algoritma tidak netral. Ia membentuk pola berdasarkan interaksi sebelumnya, menciptakan semacam echo chamber. Misalnya, ketika seseorang mulai tertarik dengan satu topik politik, maka feed-nya akan terus dipenuhi konten yang serupa. Perlahan, muncul bias konfirmasi. Semua informasi yang datang terasa mendukung satu sisi, dan perlahan-lahan menutup kemungkinan untuk melihat sudut pandang lain.
Hal yang sama berlaku di dunia konsumsi. Ketika sering melihat produk tertentu, lama-lama muncul keinginan untuk membeli, bahkan tanpa sadar. Diskon-diskon yang ditawarkan bukan acak. Mereka muncul di waktu yang sudah dihitung matang berdasarkan kebiasaan browsing dan jam aktif pengguna. Algoritma mulai menggiring keputusan, bukan sekadar menyarankan.
Dalam dunia yang semakin dikendalikan oleh pola ini, kadang muncul perasaan tidak nyaman. Seolah-olah hidup sedang diarahkan, bukan dijalani. Refleksi ini muncul ketika menyadari bahwa banyak keputusan bukan lagi karena keinginan murni, tapi karena sudah disuapi terus-menerus.
Namun, bukan berarti tidak ada jalan untuk keluar. Mengambil kendali atas pola digital bukan hal yang mustahil. Dimulai dari menyadari dulu bahwa algoritma tidak netral. Setelah itu, bisa mulai dengan langkah kecil: menyetel waktu layar, membatasi aplikasi tertentu, mematikan notifikasi, atau bahkan melakukan digital detox sepekan sekali.
Beberapa orang juga memilih untuk mengatur ulang preferensi di akun mereka. Misalnya, berhenti menyukai konten-konten yang tidak ingin terus-terusan muncul, menyembunyikan iklan tertentu, atau memilih untuk tidak mengikuti akun yang hanya membuat waktu terbuang. Algoritma belajar dari interaksi, maka keputusan kecil juga punya dampak.
Yang paling penting mungkin adalah menyisihkan waktu untuk benar-benar hadir di dunia nyata. Entah dengan membaca buku fisik, ngobrol langsung tanpa gawai, atau sekadar duduk diam tanpa layar di depan mata. Karena dalam keheningan seperti itu, seringkali muncul kesadaran bahwa tidak semua hal harus diketahui, tidak semua informasi harus dikejar.
Perlahan, algoritma bisa dijinakkan. Bukan dengan melawannya secara frontal, tapi dengan mengenali polanya dan tidak tunduk sepenuhnya. Karena pada akhirnya, pilihan tetap ada di tangan, meskipun terasa seperti tidak ada pilihan.
Dan malam itu, ketika akhirnya meletakkan ponsel dan memutuskan tidur tanpa membuka satu video lagi, ada perasaan kecil yang muncul. Semacam kemenangan kecil di tengah pertarungan tak kasat mata melawan pola yang sudah begitu terpatri. Mungkin tidak spektakuler, tapi cukup berarti untuk jadi langkah awal.