Beberapa tahun terakhir, hidup di antara teknologi udah bukan lagi pilihan, tapi kebutuhan. Dari bangun tidur sampai tidur lagi, ritmenya udah kebentuk sama notifikasi, layar, dan jaringan internet. Anehnya, makin terkoneksi, justru kadang makin berjarak. Ada yang pernah ngerasa kayak gitu juga?
Bertahun-tahun lalu, saat pertama kali nyentuh internet pakai modem dial-up, rasanya kayak buka pintu ke dunia yang lebih besar. Waktu itu, segala hal masih terasa baru dan menantang. Tapi sekarang, ketika semua ada di ujung jempol, justru muncul rasa jenuh yang aneh. Mungkin bukan soal teknologinya yang berubah, tapi cara manusia berinteraksi dengan dunianya.
Dunia digital memang bikin banyak hal jadi praktis. Tapi bareng itu, muncul juga ilusi produktivitas. Ngelihat to-do list yang penuh, seolah hari itu udah maksimal. Padahal, sebagian besar waktu habis buat scrolling tanpa sadar. Sering kali, niat awalnya cuma mau cari inspirasi, tapi malah tenggelam dalam endless loop konten yang nggak penting-penting amat.
Pernah suatu hari ngerasa burnout padahal nggak ngapa-ngapain? Kayak badan rebahan tapi pikiran nggak pernah berhenti. Itu momen di mana sadar, ternyata teknologi nggak selalu bikin hidup lebih ringan. Kadang justru mempercepat kelelahan mental karena nggak ada jeda dari distraksi.
Lalu, apakah ini berarti teknologi itu buruk? Nggak juga. Sama seperti alat lain, internet dan gadget itu netral. Yang bikin beda adalah cara digunakannya. Justru dari situ lah pelan-pelan belajar untuk ngatur ulang relasi dengan dunia digital.
Salah satu titik balik paling kerasa adalah waktu mulai sadar pentingnya digital hygiene. Mulai dari hal kecil: matiin notifikasi aplikasi yang nggak penting, uninstall media sosial yang bikin overthinking, sampai nyusun jadwal digital detox mingguan. Efeknya nggak instan, tapi pelan-pelan mulai ngerasa lebih punya kendali.
Kadang refleksi datang dari hal sederhana. Seperti saat baca ulang chat panjang yang nggak pernah dikirim, atau draft tweet yang akhirnya dihapus. Ada kesadaran kalau nggak semua harus dipublikasikan. Ada ruang privat yang justru lebih sehat untuk dijaga.
Momen paling jujur biasanya hadir pas lagi sendiri. Di kamar yang sepi, lampu kuning temaram, dan suara hujan di luar jendela. Di situlah kadang muncul keinginan untuk rehat, bukan dari kerjaan, tapi dari segala distraksi digital. Sekadar duduk tenang, baca buku fisik, atau nulis tangan di notes kecil.
Nggak ada yang salah dengan hidup digital, selama tetap sadar dan nggak kehilangan arah. Teknologi memang bisa mempercepat segalanya, tapi arah tetap harus ditentukan sendiri. Karena kalau nggak, kita cuma ikut arus algoritma yang bahkan nggak ngerti siapa diri kita sebenarnya.
Sekarang, lebih sering nanya ke diri sendiri sebelum buka aplikasi: “Beneran butuh, atau cuma kebiasaan?”. Pertanyaan sepele tapi sering menyelamatkan dari kebiasaan yang ngerusak fokus.
Belajar bilang cukup, termasuk ke diri sendiri, adalah bentuk kasih sayang. Di tengah dunia yang terus minta lebih, memilih untuk berhenti sejenak adalah bentuk keberanian.
Dan mungkin, justru dengan memilih untuk nggak selalu hadir di dunia digital, kita bisa hadir lebih utuh di dunia nyata.