Ada yang bilang, rumah itu tempat di mana hati berlabuh. Tapi gimana kalau hati kita terpecah di dua kota?
Beberapa tahun terakhir, hidup gue bolak-balik antara Jakarta dan Sidoarjo. Dua kota, dua rumah, dua dunia yang beda karakter tapi sama-sama punya makna. Sidoarjo dan Surabaya juga sama panasnya, tapi lebih kalem, pelan, dan jujur aja… lebih tenang buat napas panjang.
Setiap kali gue landing di Jakarta, yang gue rasain bukan cuma kepadatan jalanan, tapi juga energi buat kejar mimpi. Di sana, ada tim gue, ada kos-kosan yang gue kelola, ada server di Gedung Cyber, ada kucing-kucing gue yang setia nungguin, dan pastinya—ada kehidupan yang udah terbentuk dari dulu.
Tapi giliran gue pulang ke Sidoarjo, rasanya lebih kayak membuka lembaran baru. Rumah di sana masih baru, belum banyak furniture, tapi justru itu yang bikin gue ngerasa punya ruang buat nulis ulang semuanya dari nol. Kayak punya versi lain dari hidup, yang masih bisa gue bentuk pelan-pelan.
Kadang gue ngerasa aneh. Hidup di antara dua tempat bikin semua jadi setengah-setengah. Tapi di sisi lain, justru itu yang bikin gue terus gerak. Rasa rindu itu ternyata bahan bakar yang paling kuat.
Gue gak bisa milih satu kota aja. Karena dua-duanya punya peran. Jakarta ngasih gue jalan buat berkembang. Sidoarjo ngasih gue alasan buat berani mulai lagi.
Ada banyak cerita yang belum sempat gue tulis dari perjalanan bolak-balik ini. Tapi yang pasti, selama masih ada rindu yang dituju, rumah itu bisa lebih dari satu tempat. Dan kadang, perjalanan itu sendiri yang jadi rumah.
🚗💨