Beberapa waktu lalu, secara nggak sengaja nemu video iklan lawas Nokia 3310. Iklannya sederhana, nggak banyak animasi berlebihan, cuma menyoroti fitur yang sekarang mungkin dianggap remeh: SMS, baterai tahan seminggu, dan ringtone yang bisa dikustomisasi. Tapi anehnya, ada rasa hangat yang muncul. Seolah-olah benda sekecil itu punya peran besar dalam membentuk kenangan.
Waktu itu teknologi belum secanggih sekarang, tapi tiap kali punya HP baru rasanya seperti dapat mainan paling keren sedunia. Bahkan sekadar bisa tukeran ringtone via infrared aja udah bikin senyum-senyum sendiri. Bandingin dengan sekarang, punya smartphone flagship sekalipun, rasanya datar-datar aja. Punya kamera 108MP? Ya, bagus. Tapi besoknya langsung ada yang lebih tinggi.
Kenapa sekarang rasanya gadget jadi membosankan? Atau tepatnya, kenapa udah nggak ada rasa keterikatan seperti dulu?
Dulu, ada fase di mana setiap perangkat itu punya karakter. BlackBerry bikin ngerasa profesional, Sony Ericsson Walkman khas anak musik, Motorola Razr buat yang pengen tampil beda. Bahkan warnanya pun punya identitas. Sekarang? Hampir semua ponsel bentuknya mirip. Kotak, layar penuh, kamera belakang segede bola mata, dan warna-warna gradasi yang terasa generik.
Mungkin ini efek dari terlalu banyak pilihan dan terlalu sering upgrade. Dulu, beli HP bisa dipakai 3–5 tahun dan tetap terasa relevan. Sekarang, baru setahun pakai aja udah muncul rasa pengen ganti. Bukan karena rusak, tapi karena tren dan FOMO. Ironisnya, justru makin banyak fitur, makin sedikit waktu kita untuk benar-benar menghargai satu perangkat.
Ada juga peran media sosial yang membentuk persepsi. Gadget udah jadi bagian dari lifestyle, bukan lagi alat komunikasi semata. Foto harus estetik, postingan harus clean, casing harus matching sama outfit. Koneksi yang dibangun dengan gadget sekarang lebih ke arah estetika, bukan lagi fungsi atau perasaan.
Masih inget waktu pertama kali download MP3 lewat kabel data dari warnet? Atau pas ngulik tema HP Symbian dari forum-forum jadul? Ada rasa penasaran dan eksplorasi yang sekarang mulai hilang. Gadget saat ini terlalu “jadi”. Semuanya udah dikurasi, didesain buat siap pakai. Tinggal install, login, dan beres. Tanpa ruang untuk rasa ingin tahu.
Bukan berarti teknologi sekarang jelek. Justru dari sisi efisiensi, nggak bisa dibandingkan. Tapi ada bagian dari romantisme digital yang terasa lenyap. Nggak ada lagi rasa puas karena berhasil ngirim file lewat Bluetooth yang loading-nya 20 menit. Nggak ada lagi rasa bangga bisa ubah font dan layout HP pakai aplikasi modifikasi.
Banyak hal berubah, dan itu wajar. Tapi tetap ada ruang buat refleksi: apakah dalam kecepatan teknologi sekarang, kita masih bisa menikmati tiap langkahnya? Atau justru kita udah kehilangan momen-momen kecil yang bikin semuanya terasa lebih “punya kita”?
Kalau dulu gadget terasa kayak teman, sekarang lebih seperti asisten. Membantu, tapi nggak punya hubungan. Kangen rasanya ngetik SMS panjang buat ngucapin ulang tahun, yang sekarang diganti sama instastory 24 jam. Kangen ngecas HP seminggu sekali, bukan bawa powerbank ke mana-mana.
Mungkin saatnya bukan nostalgia yang dicari, tapi cara baru buat membangun koneksi yang lebih dalam dengan teknologi. Bukan sekadar punya yang paling canggih, tapi ngerti gimana cara pakai dengan sadar. Karena ujung-ujungnya, yang bikin gadget itu berkesan bukan speknya, tapi cerita yang ditinggalkan.