7 Kebohongan Tentang Menjadi Pengusaha

Alasan-Menjadi-Entrepreneur

Sering sekali kita membaca baik tulisan di buku ataupun artikel di surat kabar tentang “enaknya menjadi pengusaha”. Memang, menjadi pengusaha terutama wirausaha (entrepreneur) dapat membuka lapangan kerja baru dan menopang perekonomian negara. Namun, bohong besar kalau ada yang bilang bahwa menjadi pengusaha itu lebih enak daripada pegawai. Belum tentu. Karena banyak sekali aspek yang justru harus dikuasai pengusaha, lebih daripada pegawai yang hanya di bidangnya saja. Berikut saya coba bagikan 7 kebohongan yang sering kita dengar atau baca tentang menjadi pengusaha.

Jadi Pengusaha Itu Enak.

Siapa bilang? Kalau Anda memang tinggal meneruskan bisnis keluarga atau usaha orangtua Anda, mungkin iya. Atau kalau tiba-tiba Anda dipercaya memegang konglomerasi milik taipan. Di sinilah kelirunya kita menggeneralisasi kelas pengusaha. Padahal pengusaha itu ada yang mikro, kecil, menengah, dan besar. Bahkan ada yang konglomerasi dan multinasional. Dari segi waktu mulainya usaha dan pencapaian juga dibagi lagi menjadi start-up, running dan established. Kalau baru start-up dan kelasnya mikro-kecil, sudah pasti kata “enak” dalam arti bisa berleha-leha itu “jauh panggang dari api”. Di sini, seorang pengusaha justru harus “tahan-banting” karena ia akan mengerjakan hampir semuanya nyaris sendirian.

Kalau Mau Kaya, Ngapain Sekolah.

Ini “hasutan” menyesatkan. Terutama karena membandingkan dua hal yang tidak sebanding. Kaya dan sekolah itu dua hal yang tidak berada dalam level terminologis sejajar. Seolah-oleh orang kaya dan orang berpendidikan itu bertentangan dan mustahil sejalan. Padahal, kalau menengok daftar orang terkaya di dunia dan di Indonesia, semuanya justru berpendidikan tinggi (minimal pernah kuliah). Tanpa sekolah dan pendidikan, justru orang miskin akan tetap miskin. Anggapan di atas baru benar kalau Anda sudah anak orang kaya, atau mau kaya dengan cara yang tidak memerlukan usaha. Sekolah penting bukan sekedar untuk mendapatkan ilmu formalnya, tapi juga untuk mendapatkan wawasan dan jaringan. Alumni sebuah sekolah akan saling membantu untuk bertahan hidup, termasuk dalam berbisnis. Kaya dalam arti memiliki harta banyak tanpa harus jadi pengusaha juga bisa, misalnya dengan meniti karir sebagai pegawai hingga level direktur. Sebenarnya yang lebih tepat, kalau mau jadi pengusaha, sekolah formal tak selalu diperlukan. Karena, seringkali usaha yang kita tekuni tak terkait dengan pendidikan formal kita.

Tidak Perlu Modal.

Coba saja deh, Anda jadi pengusaha tanpa modal. Baik yang dimaksud modal kapital berupa uang maupun modal lain seperti ilmu atau jaringan. Mungkinkah? Mustahil. Untuk berdagang saja, kita perlu “kulakan” (membeli barang untuk dijual kembali). Apakah itu tidak pakai uang? Yang benar adalah kita bisa saja tidak memakai modal sendiri. Artinya, kita bisa meminjam pada saudara atau mengajak kolaborasi teman bisnis. Tapi, kita tetap punya modal yaitu kepercayaan, jaringan dan soft skill seperti kemampuan negosiasi kan?

Waktu Luang Lebih Banyak.

Ini baru benar kalau kita sudah jadi taipan dengan pegawai ratusan orang dan sistem perusahaan yang otomatis bisa jalan sendiri. Atau minimal, kita punya usaha yang bisa jalan tanpa kehadiran kita seperti investasi di properti. Namun, menjadi investor berarti pasif, dan itu berarti kita bukan pengusaha. Padahal, kriteria pengusaha adalah keterlibatan aktifnya di dalam bisnis. Itu pun kalau kita sudah jadi pengusaha sukses, biasanya malah “kecanduan kerja” sehingga tidak mempedulikan waktu luang. Jadi, waktu luang lebih banyak bila jadi pengusaha sebenarnya cuma impian orang malas saja.

Bebas Stress.

Wah, ini yang salah besar. Seorang pengusaha itu menanggung beban terberat di perusahaan. Beban materialnya tentu sebatas modal yang disertakan dalam bentuk saham atau kontribusi lain. Tapi beban mentalnya lebih daripada itu. Misalnya saja saat harga bahan baku naik, pengusaha harus memutar otak supaya roda bisnisnya tetap jalan. Belum lagi kalau ada tanggungan kepada pihak ketiga seperti hutang bank, sudah pasti membuat stress. Pengusaha juga bertanggung-jawab penuh bila usahanya dianggap melanggar hukum. Namun, stress inilah yang jadi “tantangan” bagi pengusaha. Bagi yang sudah biasa, ini malah memacu adrenalin dan ketegangan yang terasa bak bermain game saja.

Cukup Percayakan Pada Orang Lain.

Ini juga mental boss yang keliru. Kita merasa sebagai boss, lantas maunya semua pekerjaan diserahkan pada orang lain. Ini benar bila kita punya uang segudang dan berniat jadi investor. Tapi jadi pengusaha, sekali lagi berarti terjun langsung ke dalam bisnis. Kita membidani lahirnya usaha kita hingga menjalankan dan mempertahankannya. Orang lain meskipun dia kerabat dekat atau sahabat, akan berbeda rasa memiliki (sense of belonging)-nya dengan kita. Digaji berapa pun orang lain, mereka tidak akan setelaten pemilik usaha itu sendiri.

Investasi di Bisnis Orang Lain Pasti Sukses.

Masuk ke bisnis yang kita tidak tahu adalah hal yang sama sekali tabu. Apalagi kalau bisnis itu masih berupa rencana atau sering disebut business opportunity (BO). Hati-hati, di masyarakat kita banyak “janji surga” dari orang-orang tak bertanggung-jawab. Mereka memanfaatkan kelangkaan sumber informasi akurat, lembaga penjamin dan keawaman masyarakat sendiri. Banyak tawaran yang bagi saya “membodohi”, seolah dengan berinvestasi pasti untung. Investasi, apa pun bentuknya pasti akan memiliki resiko. Justru investasi yang tidak disebutkan resikonya atau diklaim minim resiko kemungkinan “ada udang di balik batu”. Intinya, kita harus tahu ke mana uang kita ditanamkan dan kemungkinan keterlibatan kita dalam manajemen perusahaan. Karena menjadi pengusaha tidak sama dengan jadi investor. Cuma membeli “hak jual atas merek” seperti pada franchise cuma membuat Anda jadi pedagang reseller, bukan pengusaha.  Kalau mau betulan jadi pengusaha, bangunlah merek (brand) sendiri dan dirikan dari awal usaha Anda.

Sumber : http://www.kompasiana.com/bhayu/7-kebohongan-tentang-menjadi-pengusaha_552968d4f17e61856c8b459a